Teladan Para
Tokoh Bangsa
Oleh
Hilma Yunis
Kelas XII IPA 1
SMA N 2 Padang Panjang
Tahun Ajaran 2015/ 2016
Teladan Para Tokoh
Bangsa
1. Mohammad Hatta
Siapa yang tidak mengenal salah satu pahlawan atau tokoh Proklamator
Indonesia ini bersama Presiden
Soekarno. Sangat
bersahaja dan sederhana hingga akhir hayatnya ini itulah sosok Mohammad Hatta
yang lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi.
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada
tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan
pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta. Pada masa
pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta
mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya,
apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara,
Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah.
Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang
berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang
perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis
itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah
maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru
diperoleh pada bulan September 1944.
Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan diLapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa. Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya.
Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan diLapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa. Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya.
Panitia kecil yang
terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo,
Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan
untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun
teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan
kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya
ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menantiSoekarni
mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja,
Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan
riuh.
Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa
Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.
Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik
Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik
Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden
harus merupakan satu dwitunggal.
2. Sutomo
Sutomo atau yang lebih dikenal
dengan nama Bung Tomo adalah salah satu tokoh pemimpin pergerakan arek-arek
Suroboyo untuk mempertahankan kemerdekaan dengan melakukan perlawanan terhadap
pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda. Inilah profil Bung Tomo, pahlawan
Pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang kemudian diperingati setiap tahunnya
sebagai Hari Pahlawan.
Lahir di Kampung Blauran, Surabaya, pada 3 Oktober 1920, Sutomo berasal
dari keluarga kelas menengah dalam kehidupan kolonial saat itu. Meskipun
begitu, Sutomo gagal menyelesaikan pendidikannya di MULO (setingkat SMP) pada
usia 12 tahun karena harus bekerja untuk bertahan hidup. Kala itu, dunia sedang
dilanda krisis moneter yang berdampak hingga ke Hindia Belanda (Indonesia).
Gagal di pendidikan formal, Sutomo justru gemilang lewat jalur informal. Ia
adalah anggota Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) –embrio gerakan Pramuka–
berprestasi. Pada usia 17 tahun, Sutomo menjadi satu dari tiga orang di Hinda
Belanda mampu mencapai peringkat prestisius, yakni Pandu Garuda.
Sempat menjadi jurnalis dan aktivis politik, nama Sutomo justru ”meledak” saat
meletusnya Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945. Saat itu, Indonesia
belum lama menyatakan kemerdekaannya. Pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris
mendarat di Surabaya dengan tujuan ingin melucuti senjata Jepang.
Namun, ternyata ada pasukan Belanda yang membonceng Sekutu. Belanda
berambisi ingin berkuasa lagi di Indonesia. Sutomo, saat itu namanya sudah
populer sebagai Bung Tomo, turun gelanggang dengan membakar semangat rakyat
Surabaya untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap Sekutu dan Belanda.
Lewat siaran-siaran radio, Bung Tomo menyerukan orasi dengan penuh luapan
emosi yang menggelorakan motivasi pejuang rakyat untuk mengusir Belanda dari
bumi Surabaya. Pekik “Merdeka Atau Mati!” menjadi salah satu ciri khas Bung
Tomo pada saat itu.
Kendati pada akhirnya rakyat Surabaya mengalami kekalahan, namun
Pertempuran 10 November 1945 menjadi salah satu titik penting dalam catatan
sejarah bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Hingga kini, setiap
tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Surabaya pun dikenang
sebagai Kota Pahlawan. Namanya juga diabadikan menjadi stadion terbesar di
Surabaya, yaitu Stadion Gelora Bung Tomo.
Bung Tomo meninggal dunia pada 7 Oktober 1981 di Padang Arafah, Arab Saudi,
saat menunaikan ibadah haji. Jenazahnya dipulangkan ke tanah air dan dimakamkan
di Surabaya. Pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2008, pemerintah
Republik Indonesia memberikan gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo.
3. Raden
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto
(lahir di Ponorogo,
Jawa Timur, 16 Agustus 1882 – meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17
Desember 1934 pada umur 52 tahun) bernama lengkap Raden Hadji Oemar Said
Tjokroaminoto, pahlawan nasional sekarang lebih dikenal dengan nama H.O.S
Cokroaminoto, lahir Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus 1882. Ia
merupakan seorang pemimpin salah satu organisasi yaitu Sarekat Islam
(SI).
Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah
juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo.De Ongekroonde van Java atau "Raja
Jawa Tanpa Mahkota" bernama Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor
pergerakan di indonesia dan sebagai guru para pemimpin-pemimpin besar di
indonesia, berangkat dari pemikiran ialah yang melahirkan berbagai macam
ideologi bangsa indonesia pada saat itu, rumah ia sempat dijadikan rumah kost
para pemimpin besar untuk menimbah ilmu padanya, yaitu Semaoen, Alimin, Muso,
Soekarno, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka pernah berguru padanya, ia adalah
orang yang pertama kali menolak untuk tunduk pada Belanda, setelah ia meninggal
lahirlah warna-warni pergerakan indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya,
yakni kaum sosialis/komunis yang dianut oleh Semaoen, Muso, Alimin, Soekarno
yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang islam merangkap sebagai sekretaris
pribadi.
Namun,
ketiga muridnya itu saling berselisih menurut paham masing-masing. Pengaruh
kekuatan politik pada saat itu memungkinkan para pemimpin yang sekawanan itu
saling berhadap-hadapan hingga terjadi Pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan
Partai komunis Indonesia karena memproklamasikan "Republik Soviet
Indonesia" yang dipimpin Muso dan dengan terpaksa presiden Soekarno
mengirimkan pasukan elite TNI yakni Divisi Siliwangi yang mengakibatkan
"abang" sapaan akrab Soekarno kepada Muso pemimpin Partai komunis pada
saat itu tertembak mati 31 Oktober, dan dilanjutkan pemberontakan oleh Negara
Islam Indonesia(NII) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo dan akhirnya hukuman mati
yang dijatuhkan oleh Soekarno kepada kawannya Kartosuwiryo pada 12 September
1962.
Pada bulan Mei 1912, HOS Tjokroaminoto mendirikan organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih menjadi ketua.Ia dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin.
Pada bulan Mei 1912, HOS Tjokroaminoto mendirikan organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih menjadi ketua.Ia dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin.
Salah satu
trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni
tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan
Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang
kemerdekaan.
Dari berbagai muridnya yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno.
Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator" perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga membuat kawannya yaitu Muso, Alimin, Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya terbangung dan tertawa menyaksikannya.
Dari berbagai muridnya yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno.
Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator" perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga membuat kawannya yaitu Muso, Alimin, Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya terbangung dan tertawa menyaksikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar