Tugas
Bahasa Indonesia
Cerpen
Oleh
Hilma Yunis
Kelas XII MIPA 1
SMA
N 2 Padang Panjang
Tahun
Ajaran 2015/2016
Bandung
Lautan Api
Hawa
syahdu di pagi itu mengiringi langkahku setelah menjalankan kewajibanku sebagai
seorang muslim yang taat pada agama. Entah sesuatu apa yang terlintas di
pikiranku, mataku tertuju pada sosok yang tak asing lagi dalam hidupku. Dialah abangku,
raut wajahnya mengingatkanku akan kehangatan kasih seorang ayah. Dengan tatapan
yang hangat dia tersenyum padaku.
“kamu
sudah shalat dek ? “ tanyanya dengan suara yang sudah berat.
“sudah,
baru saja. Abang udah shalat ? “ tanyaku . Dengan nada yang lembut abangku menjawab
, “sudah dek “.
Aku
dan Bang Thoha hanya tinggal berdua di rumah sederhana kami, tampak sepi dan
hambar tanpa kehadiran orang tua yang kami sayangi. Kedua orang tua kami sudah
meninggal sejak kami masih kecil. Saat itu, Bang Thoha berjanji pada dirinya
sendiri akan menjaga dan melindungiku seperti yang diamanahkan kedua orang tua
kami padanya.
Meski
hambar tanpa kehadiran seorang ibu dan ayah, aku berusaha keras untuk menjadi
pengganti ibu sekaligus ayah yang baik untukku adiknya. Lamunanku sempat terhenti
ketika Bang Thoha memanggilku untuk datang ke meja makan. Akhir- akhir ini aku
sering melamun, mengingat kejadian masa lalu yang seharusnya sudah pergi
menjauh.
Di
meja makan, makanan hangat telah tersedia. Aku dan Bang Thoha menikmati makanan
tersebut walaupun seadanya. Di tengah keheningan, aku memulai pembicaraan, “Fatma,
kakak mendapat surat pemberitahuan untuk merebut senjata dari pihak Jepang. “
sambil menyodorkan sebuah surat pada adikku.
Mendengar
apa yang barusan dikatakan Bang Thoha , aku tak kuasa menahan bulir- bulir air
itu keluar dari kelopak mataku. Angin terasa berhenti berhembus, mulutku
terkunci rapat tak bisa mengucapkan apa- apa. Entah kenapa aku menangis, apa
yang salah dengan perkataan Bang Thoha, dia adalah seorang pejuang. Tapi,
perasaanku mengatakan untuk melarang Bang Thoha pergi. Aku merasa abangku ini
akan pergi jauh dariku.
“
Fatma, dek, kamu nggak apa- apa kan ? ”, tanya kakakku
“
abang tidak usah pergi bertempur, lebih baik kita meninggalkan kota Bandung
saja. “ jelasku kepada Bang Thoha. “ kenapa dek, biasanya kamu nggak seperti
ini “ tanya kakakku lagi. Dia seolah tak percaya dengan apa yang kukatakan
barusan. Memang, baru kali ini aku melarang
kakakku, biasanya apapun yang dikatakannya aku selalu mendukungnya dari
belakang.
Dengan
raut muka yang cemas aku menjawab “ aku takut abang tak kembali lagi ke rumah
kita ini. Cukup aku kehilangan ibu dan ayah saja bang, aku tak ingin kehilangan
abang. “
Setelah
lama terdiam dalam kata, Bang Thoha mulai bicara, “ Dek, kakak tau kamu cemas,
tapi ini adalah tugas yang diamanahkan untuk kakak. Kakak harus melakukan ini
demi negara kita, demi kota Bandung kita ini “ ,tegas abangku. Aku tak bisa
berkata apa- apa lagi, keputusan abangku sudah bulat, hanya saja bulir- bulir
air terus keluar membasahi pipiku. Aku hanya berharap abangku bisa kembali
dengan selamat, mendo’akannya agar berhasil menjalankan misinya.
Siang,
17 Oktober 1945 pasukan sekutu mendarat di kota Bandung. abangku telah pergi
sejak tadi pagi untuk menjalankan tugasnya. Sebulan telah berlalu sejak sekutu
datang ke kota Bandung. Sudah sebulan pula abangku menjalankan tugasnya.
Pada
21 November 1945, sekutu mengeluarkan ultimatum yang berisi penduduk harus
meninggalkan kota Bandung. Ketika mendengar itu dari abangku, aku bertanya “ bang
Thoha, apa kita akan meninggalkan kota Bandung ? “ tayaku. “ tidak Fatma, abang
bersama pejuang lainnya sepakat tidak akan meninggalkan kota Bandung, kami akan
bertempur.” Jawab abangku. “ Kalau seperti itu keputusan abang, tidak apa- apa.
Aku hanya ingin abang selamat dan kembali ke rumah”, pintaku pada Bang Thoha.
Pihak
sekutu berang karena ultimatumnya tidak diindahkan. Pertempuran pun tak
terelakkan antara sekutu dan pejuang Bandung. Itu terjadi selama beberapa
bulan. Aku menunggu kepulangan abangku dengan rasa cemas. Tau akan seperti ini,
aku akan melarang keras abangku untuk ikut ambil alih dalam pertempuran ini. Tapi
apa daya, aku hanya bisa menangis dan menangis tanpa tau harus berbuat apa.
Sampai
24 Maret 1946, pertempuran terus terjadi. Sekutu kembali mengeluarkan
ultimatumnya, dan pada saat itu, paginya sebelum abangku berangkat, dia berkata
“ dek, hari ini kita akan membumihanguskan kota Bandung, kamu harus pergi
sebelum itu terjadi “ pintanya padaku sambil memelukku erat. “ abang
bagaimana?” tanyaku sambil memeluk Bang Thoha. Dengan lembut dia menjawab, “
kamu duluan aja pergi, abang nggak bisa ikut sama kamu”. Aku tidak terlalu
memikirkan perkataan abangku dan langsung menjawab, “ baiklah, tapi nanti abang
harus menyusulku”, pintaku. “ iya “, jawabnya padaku.
Setelah
memelukku, dia pergi dengan mengucapkan kata selamat tinggal padaku. aku sudah
bersiap- siap untuk pergi, aku meninggalkan semua kenanganku bersama ayah dan
ibu di rumah itu. setelah membakar rumah kami, aku langsung pergi meninggalkan
kota Bandung. Baru beberapa langkah hatiku tidak tenang meninggalkan kota ini,
rasanya ada yang menjanggal di pikiranku. Tapi aku tidak menghiraukan hal
tersebut, aku tetap melangkah ke depan.
Tak
kusangka, orang yang mengorbankan nyawanya untuk membumihanguskan kota Bandung
adalah abangku dan temannya Ramdan. Aku baru mendengar hal itu beberapa jam
setelah kota Bandung hancur. Seketika itu juga, hatiku hancur serasa ditusuk
ribuan jarum. Aku tak kuasa menahan tangis, berteriak memanggil nama abangku.
Aku tidak menyangka bahwa hari ini adalah pertemuan terakhirku dengan abangku.
Tapi apa, nasi sudah menjadi bubur.
Satu
hal yang dapat kumengerti adalah abangku rela memberikan nyawanya untuk kota
dan negara yang dicintainya. Aku bangga karena apa yang diinginkannya tercapai.
Peristiwa ini akan selalu kukenang sampai akhir hayatku. Peristiwa pada bulan
Maret 1946, dimana saat itu terukir sejarah yang mengharukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar